Sebelum guruku “hijrah” — ada tiga nasehatnya yang kupegang erat hingga kini, bahkan kusampaikan ke anak-anakku: (1) hidup tanpa seni akan kasar; (2) hidup tanpa ilmu bakal terlantar; dan (3) hidup tanpa agama niscaya kesasar!
Dan nasehat ketiga: “Hidup tanpa agama niscaya kesasar” ini yang ingin saya kupas, sedang nasehat ke (1) dan ke (2) tak perlu dibahas sebab sering kita saksikan dan buktikan sendiri dalam praktik kehidupan. Ya memang begitulah fakta sehari-hari. Hidup tanpa ilmu, terlantar. Hidup tanpa seni, kasar. Harap maklum.
Catatan ini soal nasehat ketiga. Maksud kalimat “hidup tanpa agama” — maknanya bahwa rujukan atau referensi sikap, perilaku dan tindakan orang –dalam hal apa saja– tidak berdasar ajaran – ajaran agama (Nya). Misalnya, sudah jelas ajaran (langit) agama menyatakan harus bersikap A, tetapi atas nama kebebasan berpendapat, atau atas nama kepentingan, ilmu pengetahuan, opini, hasil survei, kekuasaan, dan lain-lain seseorang tersebut (terpengaruh) akhirnya memilih bersikap B. Inilah yang kini marak dan muncul pro kontra di internal agama itu sendiri.
Agama itu logika. Jelas. Makanya terdapat level, ada tingkatan atau maqom-maqom (tempat) dalam agama. Ada yang belajar mulai dari bawah yaitu syariat (hukum) dulu, terus naik level tharikat (jalan), meningkat lagi ke hakikat (benar) dan terakhir makrifat (tahu). Atau sebaliknya, belajar dari makrifat dulu baru ke hakikat, tharikat dan lain-lain.
Semua (level) rujukannya tetap logika. Ketika nalar kita tidak nyampai pada sebuah level/maqom, berarti KEMAMPUAN kita tak sampai/belum mampu. Masih perlu belajar, dzikir dan banyak pikir lebih dalam lagi.
Iblis misalnya, ini makhluk Tuhan paling cerdas. Dulu ia paling dekat dengan Tuhan, karena bisa berdialog secara langsung dengan Tuhan, jin dan malakikat tidak mampu. Akan tetapi ketika Dia memerintahkan iblis, malaikat dan jin untuk hormat kepada Adam, hanya ia (iblis) yang menolak dengan berbagai pembenaran atas nama kepintaran dan kesombongan. Padahal, logika iblis –meskipun ia cerdas– mungkin saat itu belum sampai atau gak nyandak, sedang Dia punya maksud yang tak diketahui makluk-Nya. Menurut saya, Iblis ini tertipu oleh (logika) kecerdasannya sendiri. Coba seandainya dulu Iblis patuh atas perintah-Nya, barangkali kita sudah jadi penghuni syurga ya huahahahaha (ngakak) ..
Akhirnya saya kian yakin, bahwa orang-orang yang mengingkari (tidak mengamalkan) ajaran langit niscaya bakal kesasar hidupnya. Seperti Iblis. Sepintar apapun dia, sehebat manapun, sekaya siapapun ia bakal kesasar entah di dunia, apalagi di akhirat kelak.
0 komentar:
Posting Komentar